الأحد، 13 يناير 2013

cerpen , cinta tana air

Kotaku Surabaya

Surabaya adalah ibukota Provinsi Jawa Timur, Indonesia. Surabaya merupakan kota terbesar kedua di Indonesia setelah Jakarta, dengan jumlah penduduk metropolisnya yang mencapai 3 juta jiwa, Surabaya merupakan pusat bisnis, perdagangan, industri, dan pendidikan di kawasan Indonesia timur. Surabaya terkenal dengan sebutan Kota Pahlawan karena sejarahnya yang sangat diperhitungkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah. Kata Surabaya konon berasal dari cerita mitos pertempuran antara sura (ikan hiu) dan baya (buaya) dan akhirnya menjadi kota Surabaya. Dan kali pertama aku berjalan melangkahkan kakisaya di jalanan kota Surabaya ini.Ditengah hiruk pikuknya jalanan yang ada di Surabaya Utara, wilayah yang pada waktu itu menjadi cikal bakal pembentukan kota Surabaya tua  yang penuh dengan moderasi, sebuah pengalaman hidup karena telah pernah terjadi sebuah tragedi peperangan hebat antara tentara inggris dengan arek-arek Surabaya.
Seperti  jalan biasa, akan tetapi  menyimpan sejuta memori kenangan sejarah. Sebenarnya tempat apakah ini?  jujur aku binggung akan tempat ini, Sebuah perasaan berkecamuk dalam diri, sepertinya pergi kesebuah tempat dengan nuansa kota yang menerima segala perbedaan .
“nan, kenapa kamu diam saja ? ayo terusin jalanmu, kita telusuri jalan ini”. Ajak kakak ku.
“oh iyah kak . ini aku lagi liat-liat jalanan. Tempatnya bagus, bersih dan indah. Baru melihat sejenak saja sudah buat hatiku terkagum-kagum kak! Jawab saya penuh semangat.
Segera saya telusuri jalanan indah ini. Wah tempat yang sungguh luar biasa. Terdapat sebuah sembatan berwarnah merah yang sering disebut jembatan merah. Jembatan ini disebut jembtan merah karna selain warah dari jembatan tersebut merah, tapi  di jembatan tersebut pernah terjadi sebuah peperanagan besar-besaran yang telah merenggut banyak korban jiwa serta pertumpahan darah didalamnya.
Jembatan Merah merupakan salah satu monumen sejarah di Surabaya, Jawa Timur yang dibiarkan seperti adanya: sebagai jembatan. Jembatan yang menjadi salah satu judul lagu ciptaan Gesang ini, semasa zaman VOC dahulu dinilai penting karena menjadi sarana perhubungan paling vital melewati Kalimas menuju Gedung Keresidenan Surabaya, yang sudah tidak berbekas lagi.
Kawasan Jembatan Merah merupakan daerah perniagaan yang mulai berkembang sebagai akibat dari Perjanjian Paku Buwono II dari Mataram dengan VOC pada 11 November 1743. Dalam perjanjian itu sebagian daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan penguasaannya kepada VOC. Sejak saat itulah Surabaya berada sepenuhnya dalam kekuasaan Belanda. Kini, posisinya sebagai pusat perniagaan terus berlangsung. Di sekitar jembatan terdapat indikator-indikator ekonomi, termasuk salah satunya Plaza Jembatan Merah.
Perubahan fisiknya terjadi sekitar tahun 1890-an, ketika pagar pembatasnya dengan sungai diubah dari kayu menjadi besi. Kini kondisi jembatan yang menghubungkan Jalan Rajawali dan Jalan Kembang Jepun di sisi utara Surabaya itu, hampir sama persis dengan jembatan lainnya. Pembedanya hanyalah warna merah.

Lalu aku telusuri jalan terus berjalan, tiba-tiba ak melihat sebuah hotel yang bernama “hotel majapahit” lalu spintas aku teringat sebuah cerita tentang peperangan yang terjadi di surabaya.
“kak, ini hotel yang pernah dikibarin bendera merah,putih, biru oleh inggris bukan??” tanyaku dengan rasa ingin tahu.
“iya dek, ini hotelnya, kamu tau demi mensobek bendera birunya banyak nyawa melayang, banyak korban jiwa malahan” kata kakak
“oo, iyah kak inget aku,hehehe, ini hotel dulunya bernama LMS lalu Oranje dan kemudian jadi hotel Yamato dan juga Hotel Hoteru, ” kataku tampa berdeosa
“aduh dek, kalau semua generasi muda kayak kamu gimana ya jadinya ?” kakakku mengejek
“ya enggk lah kak, aku kan kebetulan ajah tadi lupa” kataku dengan wajah marah
“Seandainya semua generasi muda Indonesia, kalangan pemimpin yang sewenang-wenang pergi ke tempat dan menjaga selalu tempat ini maka Indonesia akan benar-benar bangkit! Ya jika ada 100 tempat serupa kemudian semua dapat perhatian lebih negeri kita pasti akan terkenal dimana-mana sebagai negeri pahlawan, bukan hanaya kotanya saja.” Bisik aku pelan.
“apa dek? Biscara sama sapa kamu?” tanya kakak ayu yang duduk di sampingku
“enggak kok kak”. Jawabku sambil tersenyum dan menggelengkan kepalah
“salam indonesia!!” seru kak Dano dengan semangat
“loh kok pada diam? Seharusnya jawab juga dong dengan lantang, tegas dan jelas!” jawab saya.
“salam Indinesia!!”
“salam Indonesia!!!!!” jawab kami dengan kompak.
Setelah itu kak Dano menjelaskan kembali tentang peperangan yang terjadi di surabaya, dimana arek-arek suroboyo berjuang keras demi kemerdekaan Indonesia, dan aku masih inget ceritanya, kalo enggk salah seperti ini:
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putihdikibarkan terus di seluruh wilayah Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya. Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato Hoteru / Hotel Yamato(bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch. Ploegman pada sore hari tanggal 18 September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Soedirman, pejuang dandiplomat yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas, Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman, sementara Soedirman dan Hariyono melarikan diri ke luar Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang semula bersama Soedirman kembali ke dalam hotel dan terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama Koesno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda, merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.”
“baik teman-teman , ada pertanyaan mengenai tempat ini?”tanyak kak Dano.
Tak urung akupun segera menggangkat tangan ,
“kak, aku naning, ada yang ingin saya tanyakan mengenai Kematian Brigadir Jenderal Mallaby? “ Tanya ku
“haha, pinter kamu dek, gini ceritanya 
Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29 Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir JenderalMallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah. Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti Mallaby, Mayor Jenderal Eric Carden Robert Manserghuntuk mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.” Jelas kak Dano.
“kalau yang 10 Novembernya kak??”tanyaku
kalau yang 10 novembernya tepat itu ceritanya kayak gini:” Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.
Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat TKR juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.
Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.
Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka. 
Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.
Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) shingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.
Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. [2]. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara. [3] Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.”
Uda dek? Uda jelas? Jangan sampek enggak tau tentang cerita ini, rugi kamu jadi arek suroboyo kalau kamunya lupa,” jelas kak Dano
“iya kak, aku enggak bakal lupa, “ jelasku sambil tersenyum.


Tiba-tiba kak Dano berdiri sambil tersenyum melihat aku dan berkata:
“mari berdiri semua, mumpung kita ada di sini, di depan hotel majapahit ini, ayo sama-sama kita nyanyikan lagu surabaya “ 
“ayo kakak” jawab kami serentak.

Surabaya, Surabaya oh Surabaya
Kota kenangan , Kota kenangan takkan terlupa
Disanalah, Disanalah , Disurabaya
Pertamalah, tuk yang pertama kami berjumpa
Kuteringat masa yang telah lalu
Seribu insan seribu hati berpadu Satu
Surabaya, ditahun Empat Lima
Kami berjuang, Kami berjuang bertaruhnyawa.

Lagu yang luar biasa, teringat dengan cerita perjuangan pahlawan hingga mengorbankan nyawa. Lagu perjuangan yang mungkin saja bukan sala satu lagu favorit remaja, bukan lagu anak band ataupun boy band yang saat ini lagi ngetrand-ngetrandnya. Setidaknya detik ini saya belajar. Belajar untuk menghargai jasa para pahlawan kita, pahlawan yang rela berjuang demi negara ini, pahlawan yang rela mati dan bertumpah darah demi negara ini, meskipun dengan cara berdiri 1 jam untu upacara setiap senin, setiap 10 november atau hari-hari lainnya , menghapal pembukaan UUD Negara Republik Indonesia 1945 yang belum juga saya kuasao, bahkan berbagai cara sederhana yang dapat kita lakukan sebagai anak bangsa.

ليست هناك تعليقات:

إرسال تعليق